+   *    +     +     
About Us 
The Issues 
Our Research Products 
Order Publications 
Multimedia 
Press Room 
Resources for Monitor Researchers 
Donate now
Stay informed
 
Table of Contents
Country Reports
Indonesia (Indonesian), Landmine Monitor Report 2006

Indonesia

Perkembangan Penting Sejak Mei 2005: Pada bulan Oktober 2005, Presiden Republik Indonesia telah memberikan persetujuan secara formal bagi dimulainya proses ratifikasi perjanjian anti ranjau darat. Rancangan ratifikasi hukum sedang dikaji ulang.

Kebijakan Anti Ranjau Darat

Republik Indonesia telah menandatangani Perjanjian Anti Ranjau Darat pada tanggal 4 Desember 1997 dan menjadi satu dari tiga negara penandatangan yang belum meratifikasi perjanjian. Pada tanggal 12 Oktober 2005, Presiden Indonesia menyatakan persetujuan bagi dimulainya proses ratifikasi perjanjian.[1] Tanggal 9 Maret 2006, perwakilan Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Republik Indonesia bertemu dan menyetujui rancangan ratifikasi hukum dan penjelasannya. Rancangan perundangan di serahkan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 23 Maret 2006 untuk revisi akhir. Rancangan yang telah direvisi tersebut diserahkan kepada Presiden untuk disetujui, kemudian diserahkan kepada DPR [2] dan diharapkan untuk dibahas pada tahun 2007 meskipun rancangan tersebut dapat ditempatkan pada prosedur “jalur cepat”. Seorang perwakilan Misi Tetap Indonesia di PBB Jenewa mengatakan kepada Kampanye Internasional Anti Ranjau Darat (ICBL) bahwa Misi akan meminta Departemen Luar Negeri untuk mempercepat proses ratifikasi. [3]

Pemerintah Indonesia sejak lama telah mengatakan bahwa salah satu kesulitan meratifikasi adalah keadaan dalam negeri yang sedang sulit dan prioritas-prioritas lain yang lebih mendesak. Indonesia selalu memilih untuk menyetujui semua resolusi Sidang Umum PBB (UNGA) sejak 1996 yang mendukung larangan penggunaan ranjau darat, termasuk Resolusi UNGA 60/80 tanggal 8 Desember 2005 yang meminta implementasi total Perjanjian Anti Ranjau Darat.

Indonesia berpartisipasi sebagai pengamat dalam Pertemuan Keenam Negara-negara Anggota di Zagreb, Kroasia bulan November-Desember 2005 dan menyatakan kembali komitmennya meratifikasi perjanjian pada sesi Pertukaran Pandangan Umum. Dicatat bahwa “Indonesia berkomitmen untuk membebaskan setiap orang di dunia dari ancaman senjata yang menghancurkan seperti ranjau darat. Sebuah komitmen untuk membebaskan setiap orang dari ancaman senjata penghancur seperti ranjau darat. Sebuah komitmen paling tepat ditunjukkan dengan promosi aktif untuk mengurangi ranjau darat, dan selalu bertindak konsisten terhadap semua provisi Konvensi Ottawa...Dalam konteks ini, sejumlah kegiatan diseminasi informasi dilaksanakan di semua komando regional militer Indonesia.” [4]

Indonesia juga berpartisipasi pada pertemuan antar sesi Panitia Pengawas bulan Juni 2005 dan Mei 2006. Selama pertemuan Mei 2006, Delegasi Indonesia menjelaskan secara rinci mengenai proses ratifikasi yang baru dan berbelit di Indonesia.[5] Delegasi juga menjelasakan kepada ICBL bahwa Indonesia akan menyiapkan Laporan Transparansi tahun 2007 sesuai ayat ke 7 meskipun belum meratifikasinya secara formal.[6] Pada awalnya, Pemerintah Indonesia mengindikasikan akan mempertimbangkan penyerahan laporan ayat ke-7 pada bulan Februari 2004 secara sukarela.[7]

ICBL melakukan misi advokasi khusus ke Indonesia pada bulan Juli 2005.[8] Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mengatakan kepada ICBL dan Kampanye Anti Ranjau Darat Indonesia (Indonesia CBL) di Indonesia bahwa beliau mendukung ratifikasi dan akan berusaha sebisa mungkin untuk menjamin terlaksananya proses ratifikasi secara lancar. [9]

Indonesia bukan merupakan kelompok Konvensi dari Konvensi Senjata Konvensional dan Protokol Amandemen II mengenai Ranjau Darat.

Produksi, Transfer, Penyimpanan dan Penggunaan

Indonesia menyatakan tidak pernah memproduksi atau mengekspor ranjau darat.[10] Pada bulan Mei 2006, seorang pejabat Departemen Pertahanan mengatakan permohonan telah dikirim kepada Asisten Operasional Angkatan Bersenjata untuk menentukan jumlah pasti persediaan ranjau darat aktif di Indonesia.[11] Sejalan dengan itu, pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan kepada Pemantauan Ranjau Darat bulan Agustus 2005 bahwa “pihak-pihak berwenang yang terkait sedang melakukan verifikasi jumlah ranjau darat aktif di tempat penyimpanannya, penting diketahui bahwa beberapa ranjau darat dianggap sudah tua.” [12] Tahun 2002, Indonesia untuk pertama kali menyatakan memiliki jumlah persediaan sebanyak 16,000 ranjau darat di beberapa tempat di Indonesia,[13] namun Departemen Pertahanan mengatakan bahwa jumlah tersebut jangan dianggap sebagai hasil verifikasi.[14]

Seorang pejabat senior menyatakan bahwa ranjau darat disimpan hanya untuk keperluan pelatihan dan tidak untuk penggunaan operasional.[15] Pada bulan Agustus 2005, seorang pejabat mengatakan bahwa, “Jumlah ranjau darat Indonesia yang akan disimpan untuk keperluan pelatihan akan diinformasikan pada tahapan berikutnya.”[16]

Pada periode pelaporan ini (sejak Mei 2005), tidak ada laporan mengenai penggunaan ranjau atau peralatan berdaya ledak (IED) oleh kelompok pemberontak. Ada laporan mengenai korban dan insiden ranjau pada tahun 2001, 2002 dan 2003 dalam jumlah kecil.[17] Insiden-insiden tersebut kebanyakan terjadi di propinsi Aceh dimana pemerintah menyalahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan beberapa kasus di Ambon. Dalam insiden-insiden tersebut, dilaporkan penggunaan peralatan berdaya ledak rakitan dan booby-traps, bukan ranjau buatan pabrik.

Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005. Didalam persetujuan tersebut, para pemberontak GAM menyerahkan senjata mereka kepada Aceh Monitoring Mission (AMM), kelompok Uni Eropa dan Kelompok Monitor Perdamaian dari Asia Tenggara. Menurut AMM, anggota GAM menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan ranjau darat dan mereka tidak menyerahkan ranjau, IED atau booby-traps. AMM mengatakan kepada Pemerhati Ranjau Darat bahwa mereka belum pernah menemukan ranjau darat sejak kedatangan mereka di Aceh bulan Agustus 2005 dan juga tidak ada indikasi bahwa ranjau pernah digunakan baik oleh GAM maupun TNI.[18]

Para ahli dari Belgia yang membantu AMM dalam penyerahaan persenjataan GAM di Aceh melaporkan bahwa mereka menemukan ranjau rakitan, namun tidak jelas apakah yang mereka temukan adalah command-detonated atau peralatan victim-activated.[19] Pada bulan Agustus 2004, para perwakilan GAM menyatakan bahwa mereka menggunakan bom untuk menyerang TNI.

Masalah Ranjau Darat/IED

Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara yang tidak terkena dampak ranjau darat.[20] Namun beberapa wawancara yang dilaksanakan pada tahun 2004 oleh Kampanye Anti Ranjau Darat Indonesia dengan penduduk di Ambon menunjukkan keyakinan beberapa penduduk sipil bahwa beberapa IED masih tersembunyi. Salah seorang yang diwawancarai bahkan pernah menemukan dan membuang lebih dari 100 IED.[21] Tidak mungkin untuk mengkonfirmasi pernyataan ini. Ada kekhawatiran bahwa Tsunami tanggal 26 Desember 2004 mungkin telah menghanyutkan alat-alat berdaya ledak ke daerah-daerah tempat tinggal masyarakat sipil, namun sampai saat ini kekhawatiran tersebut tidak terbukti. AMM memandang propinsi NAD sebagai daerah bebas ranjau darat dan IED.[22]

Kerusakan akibat Ranjau Darat/IED dan Bantuan bagi Para Korban

Pada tahun 2005 dan sejak bulan Januari hingga Mei 2006, tidak ada laporan korban ranjau darat/IED.[23]

Perawatan medis bagi korban ranjau/IED di Ambon dilakukan oleh tiga rumah sakit, Puskesmas, Jesuit Refugee Service (JRS) dan Gereja Protestan Maluku-Moluccas (GPM).[24] Rehabilitasi Fisik dan peralatan prosthetic tersedia di cabang-cabang Pusat Rehabilitasi Nasional untuk Cacat Fisik.

Terdapat pula tujuh pusat rehabilitasi sosial bagi orang-orang cacat fisik.[25] Tahun 2005, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) melanjutkan program beasiswa bagi seorang warga Indonesia untuk mengikuti kursus pelatihan selama tiga tahun di Sekolah Prosthetics dan Orthotics di Kamboja; siswa yang bersangkutan dijadwalkan lulus bulan September 2007.[26]

Indonesia memiliki hukum yang melindungi warganya yang memiliki ketidakmampuan. Meskipun perundang-undangan mewajibkan pemerintah untuk menyediakan fasilitas bagi warga dengan ketidakmampuan fisik, struktur legislative yang ada tidak secara jelas mendefinisikan dan mewajibkan; warga dengan ketidakmampuan fisik menghadapi diskriminasi khususnya untuk kesempatan kerja.[27]

Lembaga Nasional yang bekerja untuk masalah-masalah ketidakmampuan fisik termasuk Dria Manunggal (Institut Penelitian, Pemberdayaan dan Pengembangan bagi Orang dengan Kemampuan Berbeda) dan Yayasan Pembinaan Anak-Anak Cacat (The Indonesian Society for Care of Disabled Children).[28]


[1] Wawancara dengan Anne Kusmayati, Kepala Bagian Fora, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertahanan, Jenewa, 9 May 2006. Seperti dilaporkan pada Landmine Monitor Report 2005, tanggal 7 Juni 2005, para perwakilan dari kelompok kerja antar-departemen Perjanjian Anti Ranjau Darat mencapai konsensus untuk menyepakati ratifikasi. Mereka menyepakati sebuah dokumen yang mengalisa biaya dan keuntungan pengimplementasian Perjanjian Anti Ranjau Darat yang akan mereka serahkan kepada Presiden dengan rekomendasi untuk melanjutkan proses ratifikasi. Sejak awal 2002, ratifikasi Perjanjian Anti Ranjau Darat telah dipertimbangkan oleh kelompok kerja antar departemen dengan perwakilan dari Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, (BAIS TNI) Departemen Pertahanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Departemen Luar Negeri. Lihat Landmine Monitor Report 2005, hal. 642-643.
[2] Pernyataan lisan dari Anne Kusmayati, Departemen Pertahanan, Panitia Pengawas Status Umum dan Pelaksanaan Konvensi, Jenewa, 8 Mei 2006 (Catatan Monitor Ranjau Darat).
[3] Wawancara dengan Abdul Kadir Jailani, Sekretaris Pertama Urusan Politik, Misi Tetap Indonesia di PBB, Jenewa, 9 Mei 2006.
[4] Pernyataan Indonesia pada Pertemuan Keenam Negara-Negara Anggota, Zagreb, 28 November 2005.
[5] Pernyataan lisan dari Anne Kusmayati, Departemen Pertahanan, Panitia Pengawas Status Umum dan Pelaksanaan Konvensi, Jenewa, 8 Mei 2006 (Catatan Monitor Ranjau Darat).
Pernyataan serupa dibuat oleh delegasi dalam pertemuan di hari berikutnya dengan Kampanye Anti Ranjau Darat Indonesia (Indonesia CBL) dan Satnam Jit Singh, Penasehat Diplomatik ICBL.
[6] Wawancara dengan Anne Kusmayati, Departemen Pertahanan, Jenewa, 9 Mei 2006.
[7] Pernyataan lisan pada Universalization Contact Group, Jenewa, 12 Februari 2004.
[8] ICBL diwakili oleh Penasehat Diplomatik, Mantan Duta Besar India Satnam Jit Singh. Beliau dan Kampanye Anti Ranjau Darat Indonesia bertemu dengan Menteri Pertahanan, Direktur Keamanan Internasional dan Urusan Gencatan Senjata Departemen Luar Negeri serta perwakilan kelompok kerja antar departemen bagi Perjanjian Anti Ranjau Darat.
[9] ICBL Web Update, “Indonesian Defense Minister receives ICBL Diplomatic Advisor,” Jakarta, 21 July 2005.
[10] Wawancara telefon dengan Kol. Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, 13 Maret 2003.
[11] Wawancara dengan Anne Kusmayati, Departemen Pertahanan, Jenewa, 9 Mei 2006. Di dalam pernyataannya kepada Panitia Pengawas Status Umum dan Pelaksanaan Konvensi, dikatakan bahwa Indonesia perlu menghitung ulang jumlah ranjau yang pasti dan menyusun proses pemusnahan, dicatat bahwa Indonesia tidak memiliki keahlian dalam hal ini dan akan menyambut setiap bantuan untuk pemusnahan stok ranjau yang ada.
[12] Surat No. 701/PO/VIII/2005/48, dari Hasan Kleib, Departemen Luar Negeri, kepada Landmine Monitor (HRW), 29 Agustus 2005.
[13] Pernyataan Kol. Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, Panitia Pengawas Pemusnahan Persediaan Ranjau, Jenewa, 30 Mei 2002. Pada suatu waktu jumlah persediaan mencapai 22,000 ranjau, namun ranjau yang tidak stabil telah dihancurkan. Lihat Landmine Monitor Report 2002, p. 564.
[14] Wawancara dengan Anne Kusmayati, Departemen Pertahanan, Jenewa, 9 Mei 2006. Ranjau kebanyakan diimpor pada awal tahun 1960an dari Amerika Serikat, bekas negara Uni Soviet dan bekas negara Yugoslavia. Ranjau dari Yugoslavia merupakan jenis PROM dan PMA. Wawancara dengan Kol. Bambang Irawan, Menkopolkam, 5 Maret 2004. Lihat juga Landmine Monitor Report 2002, p. 564.
[15] Wawancara dengan Kol. Bambang Irawan, Menkopolkam, 5 Maret 2004. Beliau tidak menerangkan hasil pelatihan, namun diwaktu lampau pejabat yang sama telah mengatakan bahwa Angkatan Bersenjata Indonesia tidak memiliki pengalaman yang cukup atau kemampuan untuk operasi pembersihan ranjau. Wawancara dengan Kol. Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, Jenewa, 28 Mei 2002. Pada pertemuan ke-enam negara-negara anggota, Indonesia membuat pernyataan serupa mengenai keterbatasan angkatan bersenjata dalam pengalaman penyisiran ranjau dan meminta bantuan, sesuai dengan keterlibatannya dalam operasi penjagaan perdamaian internasional.
[16] Surat No. 701/PO/VIII/2005/48, dari Hasan Kleib, Departemen Luar Negeri, kepada Landmine Monitor (HRW), 29 Agustus 2005. Delegasi Indonesia bagi pertemuan antar sesi bulan Februari 2004 mengatakan kepada Panitia Pengawas dalam Pemusnahan Persediaan bahwa Indonesia bermaksud mempertahankan 10,000 ranjau. Angka ini berada diantara jumlah tertinggi yang dipertahankan oleh Negara Anggota.
[17] Lihat edisi Landmine Monitor Report sebelumnya untuk lebih jelas.
[18] Email dari Juri Laas, Kepala Bagian Pers dan Informasi Publik, AMM, 8 Mei 2006; wawancara dengan Denis Faucounau, AMM, Aceh, 11 Februari 2006.
[19] Email dari Dominique Jones, Departemen Hubungan Strategis Nasional dan Internasional Politik-Militer, Departemen Pertahanan, Belgia, 17 Mei 2006. Bantuan Belgia untuk empat bulan, sejak September hingga Desember 2005 berjumlah €26,000 (US$31,153).
[20] Pernyataan Kol. Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, 30 Mei 2002; lihat Landmine Monitor Report 2002, p. 564.
[21] Lihat Landmine Monitor Report 2004, p. 903; wawancara dengan Mr. Cobra, Korang Pajang, 10 Maret 2004.
[22] Wawancara telefon dengan Juri Laas, Jurubicara, AMM, 19 April 2006.
[23] Email dari Ibu Esterina, Medical Officer, ICRC, Jakarta, 3 Mei 2006.
[24] Lihat Landmine Monitor Report 2004, p. 904.
[25] Asia-Pacific Development Center on Disability, “Country Profile: Indonesia,” www.apcdproject.org, diakses pada 15 Mei 2006.
[26] Email dari Ibu Esterina, ICRC, Jakarta, 3 Mei 2006.
[27] Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat, “Country Reports on Human Rights Practices-2005: Indonesia,” Washington DC, 8 Maret 2006.
[28] Asia-Pacific Development Center on Disability, “Country Profile: Indonesia,” www.apedproject.org, di akses pada15 Mei 2006.